Wednesday, August 27, 2008

Jepang Hari Ketiga

HARI 3: 14 maret 2008. KAMAKURA, GORONG-GORONG TOKYO DAN HUJAN SEHARIAN

Hari ini kami berencana untuk pergi ke Kamakura, sebuah kota kecil yang terletak di selatan Tokyo. Di stasiun orang-orang nampak sudah membawa payung, padahal belum turun hujan meskipun cuaca nampak mendung. Oh-oh, ternyata ramalan cuaca di televisi lokal jepang memang tepat, baru saja kami memasuki kereta terlihat hujan mulai turun rintik-rintik.
Saat kami tiba di stasiun kita kamakura, gerimis kecil masih turun. Stasiun itu kecil, mungkin hanya seperti stasiun ka tebet. Beberapa meter dari stasiun terdapat sebuah peta yang menunjukan tempat-tempat wisata di kamakura. Tujuan pertama kami, kuil engakuji terletak sekitar 50m dari stasiun.

Kuil engakuji merupakan suatu kompleks kuil zen yang terdiri dari 18 bangunan, dibangun pada tahun 1282 atas perintah penguasa Jepang, Hojo Tokimune. Beberapa bagian kuil ini sudah pernah terbakar, dan bangunan yang ada sekarang merupakan jerih payah pendeta Seisetsu yang merekonstruksi kembali kompleks kuil ini pada akhir jaman Edo.
Foto: Gerbang Luar (Somon) kuil Engakuji

Suasana di kuil ini sangat asri, masih banyak pepohonan tinggi di halaman kuil, serta suara burung. Ada beberapa pohon sakura yang mulai mekar di halaman. Rasanya sangat tenang.

Pengunjung kuil hari itu tak terlalu banyak, kami melihat beberapa orang anak sekolah, dan juga serombongan anak TK yang datang untuk berlatih membaca kitab suci.
Foto: Butsu-den atau Main Hall kuil Engakuji

Foto: Taman Zen di Engakuji

Dari Engakuji, kami menuju ke kuil berikutnya, Kencho-ji. Kali ini kami harus berlari-lari karena hujan mulai turun agak deras. Untung jaraknya juga tak terlalu jauh dari Engakuji, sekitar 15 menit jalan kaki.

Kencho-ji dibangun atas perintah kaisar Gofukakusa, dan pembangunannya selesai pada tahun 1253. Kuil ini aslinya terdiri dari 7 bangunan utama dan 49 kuil kecil, sayang sebagian besar diantaranya musnah dalam kebakaran pada abad 14 dan 15. Kencho-ji saat ini terdiri dari 10 sub-kuil.

Kuil ini terletak di lembah yang dinamakan lembah neraka, yang merupakan tempat eksekusi pada jaman dahulu. Karena sejarahnya yang kurang baik ini, maka di lokasi kuil ini banyak dibuat patung Jizo Boddhisatva, yang tugasnya adalah menolong orang yang tersesat, dalam bahaya, atau jatuh ke dalam neraka.
Foto: Taman di Kencho-ji temple


Foto: Bonsho (lonceng kuil) ini dibuat pada tahun 1255 dan merupakan harta nasional Jepang.
Foto: Kompleks kuil Kencho-ji

Setelah sekitar sejam di Kencho-ji temple, kami menuju ke Tsurugaoka Hachimangu Temple. Kuil ini aslinya didirikan pada tahun 1063 di Zaimokusa, dan dipersembahkan untuk Kaisar Ojin. Pada jaman pemerintahan Minamoto no Yoritomo tahun 1191, kuil ini dipindahkan ke lokasinya yang sekarang.

Di kuil ini ada museum benda-benda yang berhubungan dengan Minamoto no Yoritomo, shogun pertama dalam sejarah jepang. Benda-benda yang dipamerkan antara lain pakaian perang, pedang, lukisan dan juga kimono. Sayang keterangan yang tertempel di bawah benda-benda itu semua dalam tulisan jepang sehingga kami tak dapat membacanya.

Tak jauh dari kuil ini juga terdapat makam Minamoto no Yoritomo, sebetulnya kami ingin sekali mengunjunginya, sayang waktunya tak cukup.

Dari Tsurugaoka Hachimangu hujan sudah berhenti, cuaca cukup cerah dan kami memutuskan untuk mengisi perut di Komachi-dori, suatu jalanan yang ramai dengan toko-toko penjual souvenir. Tak disangka-sangka di jalan ini ada pasangan pengantin dengan baju tradisional jepang lewat sambil naik rickshaw. Waah…kebetulan sekali, langsung saja kami ambil kesempatan untuk memotret.

Komachi-dori

Setelah melihat-lihat beberapa kafe, akhirnya kami memutuskan untuk makan di sebuah rumah makan kecil di dalam gang.

Tempura Udon seharga 500 yen, dimakan panas-panas saat cuaca dingin, kuahnya gurih tapi ringan, sungguh nikmaaatttt….

Setelah perut kenyang, kami menuju ke stasiun Kamakura untuk mencari bis ke tujuan berikutnya, Giant Buddha.

Giant Buddha Kamakura (Daibutsu) didirikan tahun 1252 berukuran tinggi 11,5m dan berat 8.5 ton. Tadinya Daibutsu ini tidak terletak di luar ruangan namun di dalam bangunan kuil. Namun tsunami besar tahun 1495 menghancurkan bangunan kuil tersebut dan menyisakan patung Daibutsu.

Sebetulnya di kompleks ini juga terdapat taman, sayang pohon-pohon sakura di situ masih gundul belum ada bunganya sehingga kurang menarik.
Cuaca kembali dingin dan angin sangat kencang sehingga kami tidak terlalu lama berada di sini.

Dari Giant Buddha kami kembali ke stasiun Kamakura untuk ke Tokyo, kali ini tujuan kami ke Shinjuku. Hujan kembali turun, kali ini jauh lebih deras. Di salah satu persimpangan tersibuk di dunia itu kami melihat orang-orang berpayung bergegas menyeberang jalan.

Kali ini hujan turun semakin deras, berangin pula sehingga sepatu kami sudah basah kuyup. Terpaksa mampir dulu di Starbucks menunggu hujan mereda. Batal sudah rencana kami melihat anak-anak muda bergaya di yoyogi park.

Saat hujan sedikit reda kami bergegas menuju shibuya, tempat seorang teman menjemput kami untuk makan malam. Astaga, ternyata restoran yang dituju letaknya masih cukup jauh sehingga kami harus berjalan lebih dari 30 menit di gorong-gorong underground kota Tokyo, di bawah gedung-gedung perkantoran untuk menuju tempat tersebut. Mengingat kecepatan jalan orang jepang yang terkenal itu, lebih tepat kalau kami dibilang berlari-lari kecil selama 30 menit.

Restoran yang kami tuju menyediakan shabu-shabu all you can eat. Kalau biasa di Indonesia daging yang dimasak shabu-shabu adalah daging sapi, di jepang yang dimasak adalah daging babi dan juga daging sapi. Di antara bahan-bahan yang diberikan pada kami ada telur mentah. Lho kok telur? Biasanya tidak ada telur di shabu-shabu? Tadinya kami pikir telur ini akan direbus, atau dikocok dan dituang ke kuah shabu-shabu, seperti membuat indomie telur. Ternyata, telur itu dikocok dan daging shabu-shabu yang sudah dimasak matang diangkat dari panci, dicelup ke kocokan telur mentah, lalu dimakan! Wah, unik juga. Tapi berhubung masih banyak jadwal acara untuk esok, kami tak berani menanggung resiko sakit perut jadi kami tak berani mencobanya.

Satu hal lagi yang kami pelajari, rupanya sudah kebiasaan untuk orang Jepang untuk minum bir saat makan-makan begitu. Jadi saat kami meminta ocha panas, sang pelayan malah kebingungan. Kami juga mencoba sake plum, rasanya manis dan enak, tapi tidak berani minum terlalu banyak karena takut mabuk.

Sekitar jam 11 lewat kami pulang dari restoran. Kami harus cepat-cepat mengejar kereta terakhir jam 12 karena hostel kami terletak di ujung lain kota. Untung setelah berlari-lari kami bisa mengejar kereta terakhir ke asakusa. Keluar dari stasiun, hujan kembali turun dan angin luar biasa besar, sampai payung kami hampir jadi baling-baling bambu, terbang terbawa angin kencang….

Kembali ke guest house pun tak bisa langsung tidur, harus menjemur jaket yang basah di dekat pemanas dan juga mengeringkan sepatu. Untung ada hair dryer di kamar mandi, bisa membantu mengeringkan sepatu, kalau tidak wah, sengsaranya besok mengingat sepatu satu-satunya sudah basah dan lembab kena hujan seharian…

No comments: